Kamis, 14 Oktober 2010

Pertunjukan Ketoprak Makin Surut

YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Pertunjukan ketoprak di wilayah DI Yogyakarta kian meredup. Pemanggungan rutin ketoprak semakin jarang digelar. Seniman ketoprak yang bertebaran di wilayah pelosok pedesaan pun akhirnya memilih beralih ke profesi lain.
Para seniman ketoprak tersebut tetap berharap pada era kebangkitan kembali seni tradisional ketoprak. Seniman ketoprak di Dusun Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul, N gatijo, misalnya, mengaku rindu untuk bisa kembali bermain ketoprak. Ketoprak di Gunung Kidul pernah menjadi tontonan populer di wilayah pedesaan sekitar tahun 1970-1980.
Meskipun seni ketoprak telah redup sejak tahun 1990-an, Ngatijo masih menyimpan pakaian pentas ketoprak dan tonil (dekorasi panggung berbentuk kain dinding) di rumahnya.
Menurut Sutradara Ketoprak Bondan Nusantara , kelompok-kelompok ketoprak di DIY memang semakin surut. Pergelaran rutin ketoprak kini hanya ditemui di Radio Republik Indonesia DIY dengan pemanggungan tiap satu bulan satu kali. Beberapa stasiun radio lainnya seperti Retjo Buntung, Arma, dan Kanca Tani tak lagi menggelar pentas ketoprak.
Pementasan ketoprak di wilayah pedesaan juga semakin jarang digelar. Gr up-grup ketoprak yang masih bertahan biasanya berada di wilayah pelosok pedesaan di selatan DIY seperti di Bantul dan Kulonprogo. Ke depan, ketoprak harus kembali ke habitat asal sebagai tontonan rakyat yang mengungkap persoalan rakyat, kata Bondan, Kamis (14/10).
Pengelola Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya Risang Yuwono menambahkan kondisi seni ketoprak memang cenderung stagnan. Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya dari Kediri ini sempat akan dibubarkan, tetapi hingga kini tetap dipertahankan karena para seniman ketoprak tobong tersebut sama sekali tidak punya rumah untuk pulang.
Menurut Risang, grup ketoprak tidak bisa lagi mengandalkan bantuan dari pemerinta h untuk terus hidup dan berkembang. Masyarakat harus disadarkan tentang perlu atau tidaknya kehadiran ketoprak sebagai bagian dari kekayaan seni tradisional. Ketoprak harus didudukkan sebagai sumber pembelajaran seni bagi siswa karena di dalamnya tercakup seni peran, sastra, hingga seni tarik suara tradisional, ujar Risang.

www.kompas.com

Musik di Otak Kita

Tak sulit memahami alasan mengapa Robert Schumann dipilih menjadi fokus seminar bertajuk "The Musical Brain: Arts, Science and the Mind" yang diadakan akhir pekan lalu di London.
Itu tak hanya karena hari tersebut adalah ulang tahun ke-200 dari sang komponis Jerman, tapi juga karena idenya mengenai "musik di otak" telah mendorong para ahli syaraf membahasnya.
Harap diketahui, Schumann pernah menghadapi keadaan syaraf yang disebut focal dystonia, yaitu hilangnya kendali otot yang mengakhiri impiannya menjadi pianis konser.
Dia juga harus berjuang menghadapi bipolar disorder (gangguan bipolar) yang akut dan telah mempengaruhi ritme kreativitas hidupnya sehingga harus dikarantina dalam dua tahun terakhir hidupnya.
Focal dystonia kadang juga disebut "kejang musik", tapi itu sama sekali bukan karena gangguan otot, sebaliknya karena otak.
Jessica Grahn, ahli syaraf dari Universitas Cambridge, Inggris, menjelaskan, kejang musik didasari fakta bahwa terlalu sering bermusik bisa melebih-lebihkan representasi mental pada bagian tubuh yang paling sering digunakan saat bermusik (umumnya jari tangan).
Sekali representasi syaraf pada jari menjadi tumpang tindih, maka saat itu pula jari tangan tak lagi bisa bebas dikendalikan.
Pianis Amerika Leon Fleisher kehilangan kendali atas tangan kanannya gara-gara diserang focal dystnoia pada 1963, dan baru sekarang ini saja dia bisa tampil lagi di konser musik.
Kendati focal dystonia adalah konsekuensi dari aktivitas yang berlebihan (Fleisher mengatakannnya teknik berpraktik tidak normal), penyakit ini juga memiliki unsur genetik dan umumnya dialami pria.
Tapi itu semata karena gangguan itu hal yang netral, dan bukan otot yang membuat distonia sulit diatasi. Sampai kini pun tidak ada obat manjur untuk penyakit ini.
Schumann sudah tidak tahan lagi dengan kondisi jari tengah tangan kanannya, lalu menggunakan alat bantu buatan sendiri untuk menyangga jarinya itu. Celakanya, keadaan itu malah membuat keadaan bertambah buruk.
Dia menggubah bagian paling sulit dari simfoni "Toccata Opus 7" tanpa bantuan jari tengah tangan kanannya. "Saya berharap bisa meyakinkan orang dengan memainkan simponi ini, tapi itu menghadapi kendala," kata Grahn.
Bagi Schumann, keadaan semakin buruk saja. Menjelang akhir hidupnya, dia mendengar suara-suara dan tersiksa oleh gambaran malaikat dan setan dalam pikirannya.
Pada 1854, dia mencoba menenggelamkan diri ke Sungai Rhine yang keburu diselamatkan penarik perahu untuk kemudian mengantarnya ke karantina.
Kendati kreativitas liar Schumann diselingi oleh priode lesu seperti kasus bipolar disorder yang dihadapinya, tak semua orang sepakat dengan klaim itu.
Beberapa orang bahkan mengatakan gangguan mental si musisi diakibatkan oleh sifilis atau kadar merkuri pada obat yang digunakannya.
Biar bagaimanapun, Schumann terbilang unik diantara komponis-komponis yang juga menghadapi gangguan mental seperti Mozart, Beethoven, Tchaikovsky dan Leonard Bernstein.
Benar atau tidak bahwa musik bersifat terapis bagi para komponis seperti itu, yang jelas musik adalah media pengobatan efektif baik untuk keluhan psikologis maupun gangguan kejiwaan.
Itu sebagian karena bagaimana musik mengakses emosi manusia.
Psikolog Katie Overy pada Universitas Edinburgh, Inggris, menungkapkan bahwa kepeduliannya pada terapi musik memaksanya meminati aspek-aspek emosi karena ini semua besar pengaruhnya.
Walau mengakui ekspresi musik itu multiaspek, dia menegaskan bahwa studi neurologis menyebutkan bahwa aktivasi neuron cermin --'sirkuit empati' yang mendorong baik manakala kita menyaksikan seseorang memainkan musik di panggung ataupun ketika kita memainkan musik untuk kita sendiri-- memberi petunjuk bagaimana musik bekerja.
Itu bisa jadi ketika kita mendengar musik, kita dapat membaca musik itu dan membaca indikator-indikator dari ungkapan emosi dalam vokal atau bahasa tubuh orang lain.
Musik "riang gembira" biasanya bertempo naik dan tinggi, sementara musik "tenang" dan "sedih" cenderung bertempo lembut, lambat dan rendah. Itu semua terjadi karena kualitas-kualitas akustik mewakili prilaku dan suara orang yang mengungkapkan emosi itu.
Observasai ini tampaknya juga berlaku untuk semua kebudayaan, sebagaimana ditunjukkan Stefan Koelsch dari Universitas Sussex dan sejumlah koleganya baru-baru ini.
"Musik memiliki kemampuan menyerap kualitas-kualitas akustik sekaligus menyebarluaskannya ke kualitas-kualitas akustik itu," kata Overy.
Selama Overy menyampaikan paparannya, pianis Ian Brown melukiskan bagaimana misalnya, ekspresivitas musik melibatkan ekspresi dalam legato (menyanyikan beberapa gabungan not).
Koelsch sendiri menunjukkan bahwa "kejang musik" bisa merangsang sinyal neorologis, seperti terjadi pada "kejang-kejang" lainnya.
Asumsi itu memperkuat pendapat filsuf Susanne Langer bahwa musik menyatakan dinamika emosi, atau psikolog Carroll Pratt yang pada 1931 menyebutkan bahwa musik menyuarakan bagaimana emosi dirasakan.

(Sumber: http://oase.kompas.com)

Diariku

Inilah web pribadi pertamaku

Semoga kelahiran laman pribadi ini membuatku lebih bergairah buat menulis:)